KUMPULAN HUMOR GUS DUR

1. PENDETA POHON
Siapakah orang yang paling dikagumi Gus Dur? Itulah pertanyaan Jaya Suprana pada kesempatan dalam talk show di TPI beberapa waktu silam.
Untuk kawasan Asia ini, jawab Gus Dur, ada dua orang yang dianggap sebagai orang yang dianggapnya sebagai guru yang sangat dihormatinya. Satu adalah Kim Dae Jung dari Korea Selatan, dan satu lagi Sulaksiwaraksa dari Thailand.
“Kenapa Gus Dur menganggap Sulak itu guru?” tanya Jaya.
“Karena dia itu pernah dua kali mau dihukum mati karena dianggap menghina Raja,” jawab Gus Dur. “Padahal dia itu pernah mencoba menyelamatkan hutan.”
Menurut Gus Dur, hukum di Thailand menetapkan bahwa seorang pendeta Budha tidak diperbolehkan mencampuri urusan negara. Nah, Sulaksiwaraksa itu dianggap melanggar hukum, lalu dijatuhi hukuman penjara, meskipun bukan hukuman mati.
Lalu apa dosa Biksu Sulaksiwaraksa itu sebenarnya?
“Dia melakukan aksi membungkus pohon dengan sarung layaknya pendeta Budha. Lalu pohon itu dilantiknya menjadi biksu.
2. TAROWEH DISKON
PADA masa kekuasaan Presiden Habibie, Gus Dur pernah mampir ke rumah Pak Harto di Cendana. Gus Dur mengajak seorang yang disebut dengan “kiai kampung” dari Metro, Lampung Tengah. Waktu itu bulan puasa.
Setelah berbuka dan omong-omong seperlunya, Pak Harto nyeletuk, “Gus Dur dan Pak Kiai ini bakal sampai malam kan di sini?”
“O tidak,” jawab Gus Dur. “Saya harus segera pergi, karena ada janji dengan Gus Joyo, adik Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tapi Pak Kiai ini biar tinggal di sini. Maksudnya buat ngimami (menjadi imam) salat taraweh, kan?”
Pak Harto manggut-manggut.
“Tapi,” lanjut Gus Dur, “Sebelumnya perlu ada klarifikasi dulu?”
“Klarifikasi apa?” tanya Pak Harto.
“Harus jelas dulu, Tarawihnya mau pakai gaya NU? Kalau NU lama bagaimana, kalau NU baru bagaimana?” tanya Pak Harto makin heran.
“Loh apa ada macam-macam gaya NU? Kalau gaya NU lama, tarawihnya 23 rakaat. Gaya NU baru, diskon 60 persen (11 rakaat)!”
Pak Harto cuma ketawa, karena tidak terlalu paham. Dan Pak Kiai nyeletuk, “Iya, deh. Diskon 60 persen pun nggak apa-apa,”
Harap diketahui, “Tarawih diskon” menjadi 11 rakaat itu adalah gaya Muhammadiyah.
Keluarga Pak Harto sendiri disebut orang “Hidup dengan cara Muhammadiyah, mati dengan cara NU”. Sebab, Pak Harto pernah mengaku bahwa dia semasa sekolah di Yogyakarta belajar di SMP Muhammadiyah (jadi “berakidah” Muhammadiyah). Tapi ketika Bu Tien meninggal, rumahnya di Cendana sibuk dengan macam-macam tahlilan (tiga hari, tujuh hari, 40 hari, 100 hari dan seterusnya), yang merupakan trade mark NU.
Jadi kalau Gus Dur menawarkan “Tarawih diskon” 11 rakaat itu, Pak Harto dengan senang hati menerima saja. Itu artinya kembali ke “khittah”.
3. KEPUTUSAN RAPAT
Saat masih berada di bangku sekolah, Gus Dur memang terkenal sebagai anak yang usil bin jail.
Pernah suatu kali dia berusaha mengerjai guru Bahasa Inggrisnya, dengan seember air, yang digantung di pintu kamar mandi di sekolahnya. Karuan saja, saat sang guru hendak membuka pintu, “Byuur!” basah kuyuplah sang guru asal Batak tersebut.
Namun ketika sang guru bertanya, “Siapa yang punya ide untuk menaruh ember itu di situ?”
Sambil menahan tawa Gus Dur menjawab, “Awalnya memang saya yang punya ide Bu. Tetapi kemudian sudah menjadi keputusan rapat.”
4. TAK JAWAB SMS, KARENA TULISANNYA JELEK
Suatu ketika Gus Dur membagi-bagikan handphone kepada sejumlah kiai NU. Tentu saja para kiai ini agak kikuk dengan teknologi telepon genggam itu.
Karena merasa sejumlah kiai koleganya sudah mendapatkan handphone, Gus Dur pun dengan mudah menghubungi mereka lewat telepon genggam tersebut.
Pada satu kesempatan, Gus Dur meminta kepada asistennya untuk mengirimkan SMS ke salah seorang kiai. Namun, lama ditunggu, jawaban dari sang kiai tak kunjung didapat. Alhasil Gus Dur pun menelepon sang kiai.
“Pak kiai, kalau ada SMS dari umat mbok ya dijawab,” kata Gus Dur.
Lantas dengan polosnya sang kiai menjawab, “Waduh Gus, saya nggak nulis di handphone ini, soalnya tulisan saya jelek.”
5. PENGALAMAN GUS DUR NAIK HAJI
Gus Dur seperti tidak pernah kehabisan cerita, khususnya yang bernada sindiran politik. Menurut dia, ada kejadian menarik di masa pemerintah Orde Baru.
Suatu kali Presiden Soeharto berangkat ke Mekkah untuk berhaji. Karena yang pegi seorang persiden, tentu sejumlah menteri harus ikut mendampingi. Salah satunya “peminta pertunjuk” yang paling rajin, Menteri Penerangan Harmoko.
Setelah melewati beberapa ritual haji, rombongan Soeharto pun melaksanakan jumrah, yakni simbol untuk mengusir setan dengan cara melempar batu ke sebuah tiang mirip patung. Di sini lah muncul masalah, terutama bagi Harmoko.
Beberapa kali batu yang dilemparkannya selau berbalik menghantam jidatnya. “Wah kenapa jadi begini ya?” cerita Gus Dus menuturkan pernyataan Harmoko yang saat itu tampak gemetar karena takut.
Lalu Harmoko pindah posisi. Hasilnya sama saja, batu yang dilemparnya seperti ada yang melempar balik ke arah dirinya. Setelah tujuh kali lemparan hasilnya selalu sama, Harmoko pun menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari posisi presiden untuk “minta petunjuk”. Setelah ketemu, lalu dengan lega ia tergopoh-gopoh menghampiri Bapak Presiden.
Namun, sebelum sampai di hadapan Soeharto, ia turut mendengar bisikan “Hai manuia, sesama setan jangan saling lempar.”
6. CERITA GUS DUR SOAL NAIK KERETA
Setelah mendapat larangan dari dokternya untuk tidak melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan pesawat terbang, Gus Dur kemudian nekat untuk berpergian jauh menggunakan kereta api.
“Anda mau pergi naik kerata api Gus? Memangnya Anda pikir bisa sampai tepat waktu dengan naik kereta api?” ledek si dokter.
“Anda jangan meremehkan, kereta itu cepet banget loh!” jawab mantan Presiden RI ke-4 itu.
“Kereta api mana yang bisa menandingi kecepatan pesawat terbang?” tanya dokter.
“Oho.. Anda jangan salah. Semua kereta api bisa lebih cepat dari pesawat,” kilah pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 ini.
“Anda mimpi kali. Semua orang juga tahu kalau pesawat itu jelas lebih cepat dibandingkan kereta api,” cecar sang dokter.
“Wah, Anda salah. Memang sekarang ini pesawat lebih cepat. Tapi itu karena kereta api baru bisa merangkak. Coba kalau kereta api nanti sudah bisa berdiri dan bisa lari. Wuiih.. pasti bakalan jauh lebih cepat dari pesawat,” jawab Gus Dur, disambut wajah kecut sang dokter.

Tinggalkan Komentar: