Wajar jika yang namanya sekolah pasti ada kelas, guru dan muridnya. Nah, kalau sekolah dalam perut di mana kelasnya? Siapa gurunya? Dan yang paling penting adalah siapa yang akan menjadi muridnya?
Mungkin timbul pertanyaan dalam benak kita semua, akankah seorang janin dalam kandungan bisa diajak belajar? Ya, berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Barat dalam bidang perkembangan pra-lahir, ternyata menunjukkan bahwa selama berada dalam rahim, anak dapat belajar, merasa, dan mengetahui perbedaan antara gelap dan terang. Pada saat kandungan telah berusia 20 minggu atau sekitar 5 bulan, kemampuan janin untuk merasakan stimulus telah berkembang dengan cukup baik. Sehingga hal ini memungkinkan terjadinya proses pendidikan dan pembelajaran terhadap janin pun dapat dimulai.
Menurut F. Rene van de Carr dan Marc Lehrer, dalam bukunya Cara Baru Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, beberapa kebiasaan baik yang dibentuk secara konsisten oleh ibu-ibu hamil pada dirinya dan bayinya selama masa kehamilan dapat mengurangi berbagai kesulitan yang mungkin timbul ketika sang anak sudah menghirup udara dunia. Para ibu hamil di Barat biasa memperdengarkan irama musik-musik klasik pada janin yang ada di dalam kandungannya. Sedangkan untuk kita yang beragama Islam, memperdengarkan muratal Al-Qur’an adalah alternatif yang lebih baik. Karena hal tersebut dapat membiasakan janin terbiasa dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan membuat hapalan anak kuat ketika lahir ke dunia kelak. Contohnya seperti Hasan Thabathabai yang selalu diperdengarkan tilawah Al-Qur’an oleh ibunya. Hasilnya Hasan meraih gelar doktor termuda dalam Hifzhul Qur’an di usianya yang belum mencapai 12 tahun. Selain itu, membacakan cerita ataupun kisah-kisah serta relaksasi bagi janin akan memungkinkan ibu-ibu hamil dapat menjalin komunikasi dan membina hubungan yang positif dengan jabang bayi yang ada dalam kandungannya.
Masih dalam bukunya Cara Baru Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, F. Rene van de Carr dan Marc Lehrer menuliskan bahwa The American Association of The Advacement of Science pada tahun 1996 merangkum hasil penelitian beberapa ilmuwan dalam bidang stimulasi pra-lahir atau bayi, antara lain sebagai berikut :
Dokter Craig Ramey dari University of Alabama menegaskan bahwa program-program stimulasi dini dapat meningkatkan nilai tes kecerdasan dalam pelajaran utama pada semua anak yang diteliti dari masa bayi hingga usia 15 tahun. Anak-anak tersebut mencapai nilai kecerdasan 15 hingga 30 persen lebih tinggi dibanding lainnya.
Dokter marion Cleves Diamond dari University of California di Berkeley-AS melakukan eksperimen bertahun-tahun dan mendapatkan hasil yang sama berulang-ulang bahwa tikus yang diberi stimulasi tidak hanya mengembangkan pencabangan sel otak lebih banyak dan daerah kortikal otak yang tebal, tetapi juga lebih cerdas dan lebih terampil bersosialisasi dengan tikus lainnya.
Dokter Hugo Moser dari John Hopkins University meneliti monyet-monyet Rhesus tanpa stimulasi. Hasilnya adalah monyet tersebut mengalami cacat perilaku yang mencolok dan menyedihkan saat mereka dewasa. Monyet-monyet tersebut menjadi kikuk, suka menyiksa diri sendiri dan menarik diri dari kontak sosial dengan monyet lainnya, serta menunjukkan tanda-tanda keterbatasan kecerdasan lainnya.
Penelitian lainnya juga dilakukan oleh The Prenatal Enrichment Unit di Huacchiew General Hospital Bangkok-Thailand yang dipimpin oleh dr. C. Panthuraamphorn. Penelitian dilakukan dengan pemberian stimulasi terhadap janin dalam kandungan. Hasilnya ketika bayi tersebut lahir, mereka mampu menirukan suara, menyebutkan kata pertama, tersenyum secara spontan, mampu menolehkan kepala ke arah suara orangtuanya, lebih tanggap terhadap musik, dan juga mengembangkan pola sosial lebih baik saat ia dewasa.
Begitu pula dengan riset yang dilakukan oleh Prof. Suzuki dari Jepang yang dimuat dalam harian The Japan Times Weekly Education, bahwa stimulus yang diberikan terhadap janin sangat terkait dengan tingkat intelegensi anak. Jadi, sejak masih dalam kandungan, anak sebenarnya sudah siap merespon stimulasi-stimulasi edukatif yang diberikan kedua orang tuanya, terutama ibunya.
Metode sekolah dalam perut ini memang adalah metode Barat. Namun apa salahnya apabila metode ini juga diaplikasikan dalam Islam dan menggunakan cara-cara yang lebih islami, misalnya dengan memperdengarkan muratal kepada janin. Metode ini telah diterapkan oleh seorang muslimah kelahiran Medan yang berkesempatan menyelesaikan studi sarjananya di negeri Syams, Ustadzah Halimah Sa’diyah Nasution. Beliau memiliki seorang anak yang bernama Ayyasy Ar-Rantisi. Pelajaran yang Ustadzah Halimah berikan kepada Ayyasy Ar-Rantisi adalah elusan di perut dan tilawah Al-Qu’an sesering mungkin, diperdengarkan burdah, dibacakan sirah 25 Nabi dan Rasul, dinyanyikan lagu anak-anak seperti Balonku, Bintang Kecil, Pelang-Pelangi, dan lainnya. Ayyasy ketika masih berada dalam kandungan juga dibacakan hadits-hadits pendek, cerita-cerita sains untuk anak dan di akhir pelajaran selalu ditutup dengan burdah. Satu paket pelajaran ini biasanya dapat beliau selesaikan dalam waktu 10-20 menit sekolah dalam perut tersebut biasa beliau lakukan setiap pagi, sekitar pukul 09.00 dan dimulai sejak Ayyasy berusia 4 bulan di dalam kandungan.
Dan hasil dari pembelajaran Ayyasy dalam kandungan sungguh mengesankan. Ayyasy ketika lahir tidak banyak menangis dan lebih rileks, lebih gesit, matanya lebih waspada, dan memiliki kode khusus untuk memberitahukan bahwa ia meminta diganti popoknya. Bocah ini juga memiliki rentang perhatian yang lebih lama dan lebih fokus pada gambar-gambar yang ditunjukkan padanya. Dan ketika menginjak usia 6 bulan, Ayyasy sudah bisa menyebut “Umi“. Ayyasy juga sudah bisa mengeluarkan suara ‘r’ dengan jelas ketika ia berusia 10 bulan.
Dalam metode sekolah dalam perut ini juga dibutuhkan kurikulum dan aturan-aturan layaknya sekolah biasa. Kurikulum disesuaikan dengan keinginan orang tua, misalkan memperdengarkan muratal Al-Qur’an, dibacakan cerita, dinyanyikan, daiajak berkomunikasi, dan lainnya. Cara berkomunikasi dengan janin yang ada di dalam kandungan dapat dilakukan dengan menggunakan megafon atapun alat khusus yang terdiri dari microphone yang digunakan oleh guru atau ibu dan dilengkapi dengan speaker atau sejenis headphone untuk ditempelkan ke perut ibu supaya dapat didengar oleh janin ketika proses pembelajaran. Alat ini sudah banyak dijual di pasaran. Atau bisa juga menggunakan alat yang lebih murah yaitu, kalender yang digulung seperti terompet tahun baru. Bagian corongnya digunakan oleh ibu untuk bersuara, dan ujungnya ditempelkan ke perut untuk diperdengarkan ke janin.
Aturan sekolah dalam perut ini adalah harus menyediakan waktu khusus untuk proses pembelajaran. Bagi ke dalam 2 sesi setiap harinya, dan satu sesi hanya membutuhkan waktu 5-20 menit. Dianjurkan dilakukan 30-150 menit setelah sang ibu makan. Jangan memaksa bayi belajar dan memperlama proses belajar agar bayi bisa rileks dan mencerna pelajaran dengan baik. Selain itu jangan meng-qadha’ atau mengganti waktu belajar yang tidak terlaksana. Karena ini akan membuat tingkat stress pada janin meningkat. Usahakan untuk mengawali dan mengakhiri pembelajaran dengan muratal, nayid, musik, nyanyian, atau senandung. Dan yang paling utama adalah konsisten selama proses belajar dari awal proses pembelajaran, yang dapat dimulai di akhir trisemester pertama hingga bayi lahir. Perbanyak komunikasi verbal berupa sentuhan ke perut ibu, bukan hanya oleh ibu tetapi ayah dan anggota keluarga lainnya seperti kakak sang bayi bisa ikut serta.
Proses pembelajaran dan pemberian stimulasi dalam kandungan ini banyak diterapkan oleh orang-orang Yahudi. Para ibu hamil Yahudi biasanya ketika sedeng hamil, mereka berusaha untuk mengerjakan soal matematika sesulit apapun walaupun si ibu kurang menyukai matematika. Sang ibu juga mengajarkan janin yang ada di dalam kandungan not-not balok yang terbilang rumit. Janin yang ada di dalam kandungan juga sering diperdengarkan musik klasik. Tidak heran apabila banyak orang-orang Yahudi yang jenius dan pandai, hanya saja kejeniusan mereka membuat orang lain sengsara alias jenius tapi keblinger.
Selain asupan yang bergizi selama masa kehamilan, sekolah dalam perut dan kepribadian keseharian si ibu juga dapat membentuk karakter dan kecerdasan anak. Oleh karena itu jangan sungkan-sungkan untuk mencoba metode sekolah dalam perut ini untuk mencetak generasi rabbani yang unggul dan bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
(Sumber)